Kamis, 26 Januari 2012

White Dandellion

“Suasana gallery yg hening dan tenang itu terpecah oleh melody hangat ciptaan mozart. Aku berdiri, terpaku dan tertegun melihatnya memainkan piano clasic putih itu, White Dandellion. Sinar matahari yang menerpanya membuat kehangatan tersendiri. Aku berharap bisa menggemgamnya walaupun hanya sementara waktu, karena orang yang bisa mendapatkan cintanya pastilah gadis yang paling bahagia.” -Tiffany

“Dia duduk disampingku dan bercerita tentangnya, Sang Pianis. Dari matanya aku tahu dia sangat mengagumi laki-laki itu. aku hanya pasrah dan mendengarkan dia terus mengeluarkan kata-kata pujian, padahal ini adalah kencan kami. Beberapa kali aku meghela nafas dan mengeluarkan ekspresi kesal, namun ternyata tak ada tanggapan yg berarti darinya.” -Richard



“Aku menyukai mu” ucapku dengan debaran jantung yg sama sekali tidak bisa kukendalikan, saat dia mengantarku pulang. Beberapa kali aku mencoba untuk tetap tenang dan mengatur perasaanku. Dia tampak heran dan terkejut mendengarnya, aku tidak tau apa yang sedang dipikirkannya, tp aku berharap dia mau mengatakan ‘Iya’...

Angin dan beberapa debu yang berhembus kesana kemari serta nyala lampu yang berbaris di jalan, turut menghiasi sudut kota di malam hari. Kali ini pun dia mengantarku pulang ke rumah, sama seperti kala itu, sewaktu aku mengutarakan perasaanku. Namun kali ini berbeda dengan saat itu. sekarang statusku telah menjadi kekasihnya. Meskipun demikian aku masih merasa dia tetap jauh dariku. Mungkin karena kesibukannya di universitas dan perusahaan ayahnya.

“Bisakah kau berhenti untuk menyebutkan sang pianis itu? telingaku sudah cukup panas untuk mendengarmu menghebohkan dirinya.” katanya sambil membuang pandangan ke sudut yang lain. “jika kau tidak berhenti membicarakannya, aku akan mengantarmu pulang. Kita sedang kencan, kenapa kau malah asik menceritakan pujaan hatimu itu? apa kau tidak mengerti?” Ucapnya setengah kesal, tapi itu malah membuatku senang dan tertawa. Kekesalannya baru hilang saat aku mengatakan bahwa laki-laki yang kubicarakan itu, sebenarnya adalah dirinya, Sang Pianis.

“Richard, apa kau sibuk hari kamis nanti?”

“Hmm... tidak. Ada apa?”

“Ah, tidak apa, hanya saja aku ingin tahu apa kau ada waktu senggang atau tidak?!”

“Hari ulang tahun mu kan?! Tenang saja, aku pasti akan datang. Kau ingin hadiah apa dariku?”

“aku... Aku tidak perlu hadiah apapun, aku hanya ingin kedatanganmu di pesta ku. Itu saja..”

Aku berdiri didekat kolam renang, menunggu sosoknya tertangkap indra penglihatanku. Aku gelisah karena sampai 20menit acara ulang tahun ku berlangsung, dia masih tetap tidak ada. Beberapa kali aku mengadahkan kepala ke langit dan berharap dia akan ingat janjinya. Elisabeth pun telah menyemangatiku, dan berkata ‘dia hanya telat, tapi pasti akan datang’. Namun, yang kutahu, Richard itu orang yang disiplin waktu, semenjak aku kenal dengannya dia belum pernah terlambat.

Semenit.. duamenit berlalu.. aku sudah akan meninggalkan pesta dan mencari tempat untuk menghibur diri. Tetapi saat itu pula, dia datang.

“Maaf, aku telat. Tadi aku mencari beberapa orang untuk membantuku membawakan hadiahmu.” Tuturnya sambil menunjuk sebuah bingkisan yang cukup besar untuk ukuran hadiah ulang tahun. “Apa kau ingin melihat isinya?” lanjutnya.

Saat bingkisan itu terbuka, yang aku lihat adalah sebuah alat musik yang rasanya tidak asing bagiku. Itu, White Dandellion. Tidak kusangka dia akan menghadiahkan piano itu padaku.

“Itu hadiah dari Sang Pianis. Dia bilang, sudah cukup aku membagi melody, sekarang saatnya dia memberi sumber melody itu.” ucapnya. Kemudian dia mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. Sebuah cincin dari plastik yang kami dapatkan dari permainan, cincin yang sangat sederhana dan pasti bisa diperoleh oleh siapapun. “Maaf, aku hanya bisa memberimu ini.”

Sesaat, aku tidak dapat membendung air mataku lagi. Aku menangis di pundaknya dan berbisik. ‘Aku ingin minta maaf pada Sang Pianis karena ternyata, aku salah. Sebab gadis yang paling berbahagia adalah gadis yang bisa mendapatkan cintamu, Richard.’

Mimpi dan Kenyataan tidaklah begitu jauh, mereka hanya dibatasi oleh sebuah kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar